Siang ini, terlihat awan
berarak-arak dengan gumpalan kapas berwarna hitam pekat di langit. Tanda akan segera
turun hujan. Hujan selalu mengingatkan Rio tentang kenangan itu. Kenangan
dengan seorang gadis yang tinggal bersebelahan dengan rumahnya. Rio masih mengingat
jelas hari itu, tiga tahun yang lalu, saat menjelang Ramadhan 1430 H.
Saat itu hari masih siang, ketika Ify datang ke rumah Rio dengan membawa baki berisi hantaran
makanan ringan, padahal saat itu hujan sedang turun deras.
“Ini
buatan Mama dan Ify, Tante. Cobain ya!” kata Ify pada Mama Rio.
“Sejak
kapan kamu bisa masak, Fy? Bilang aja itu masakan Tante Gina.” Celetuk Rio
sambil mengelap rambutnya yang basah dengan handuk.
“Rioooo!”
Mama mendelik.
“Kalaupun
benar itu masakan Ify, pasti nggak enak, Ma. Mending nggak usah dimakan deh.” Kata
Rio sambil mengangkat sebelah alisnya.
“Rioooo!”
Mama kembali mendelik.
Ify
membelalak. “Yaudah kalo kamu nggak mau makan, buat Tante Manda aja.” Ify
menjulurkan lidahnya kearah Rio.
“Oiya Tante, maaf lahir dan batin ya. Salam dari Mama. Selamat manjalankan ibadah puasa.”
“Oiya Tante, maaf lahir dan batin ya. Salam dari Mama. Selamat manjalankan ibadah puasa.”
“Sama-sama,
Ify. Tante dan keluarga juga minta maaf ya.”
“Kayak
lebaran aja pake maaf-maafan.” Celetuk Rio lagi.
“Rio
abis main hujan-hujanan lagi ya Tante?” Tanya Ify, mengabaikan celotehan Rio.
“Iya,
anak itu sudah sebesar ini masih saja main hujan-hujan, seperti anak kecil
saja.”
“Yee,
Mama memangnya yang main hujan-hujanan itu cuma anak kecil aja? Ya nggak lah.”
Mama
Rio berdecak sambil menggelengkan kepalanya. “Liat dong Ify, Ify saja nggak pernah main hujan-hujanan.”
“Yah,
Ify kan cemen, Ma. Masa takut sama air.”
“Yee,
siapa yang takut air sih? Main hujan-hujanan itu kan bisa bikin sakit tau, Yo.”
Kata Ify menjelaskan.
Rio
hanya mengangguk-angguk sambil bergumam ‘oh’.
“Ini
anak kalau dikasih tahu ngeyel banget. Nanti kalau kamu sakit, awas kamu ya,
Mama nggak mau ngurusin kamu.”
“Yaudah,
kalau Mama nggak mau urusin aku kan masih ada Ify.” Goda Rio sambil mengedipkan
sebelah matanya.
Ify
pamit. Diam-diam Rio memperhatikan Ify hingga Ify menghilang dibalik gerbang.
Gadis berdagu tirus itu memiliki model rambut layer yang selalu ia gerai hingga
melewati bahu. Namun sejak dua tahun yang lalu rambut itu telah ditutup dengan
jilbab yang membuatnya semakin cantik.
Sudah
sejak lama Ify dan Rio bertetanggaan. Mereka juga satu sekolah, hanya saja
berbeda kelas. Ify amat pendiam, berbeda dengan Rio yang jahil dan suka
bikin onar. Hobi membolos, main PS, nongkrong dengan teman, itulah Rio.
Setiap
Ramadhan, Rio selalu melihat Ify lewat depan rumahnya untuk pergi dan pulang
terawih.
Pernah
Ify menegur Rio saat melihat Rio asik main basket di teras rumah. “Yo, puasa
nggak, terawih nggak.. gimana sih kamu.” Rio hanya cengengesan mendengarnya
tanpa menghentikan permainan basketnya.
Walau
berulangkali Ify menasihatinya tapi tetap saja Rio tak berubah.
“Rio,
kita terawih bareng yuk.” Ucap Ify setiap kali ingin pergi terawih.
Ify
juga pernah memergoki Rio makan bakso saat teman-temannya yang lain
justru sedang berusaha sekuat tenaga melawan godaan iman. “Marioo.. kok kamu
nggak puasa sih? Inget loh, Yo, bayar puasanya itu repot.” Dan lagi-lagi Rio
hanya cengengesan mendengarnya.
Mama
Rio pernah berkata “Keluarga Umari itu beruntung sekali. Walau dikaruniai
seorang anak, tapi baik.., cantik.., pinter juga alim. Nggak kayak keluarga kita.”
“Mama
pengen ya punya menantu kayak dia?” tanya Rio jahil. “Tenang, Ma..”
“Ah...
mana mau dia sama kamu. Begajulan, bandel... Bisanya cuma bikin orang tua
stress aja.”
“Yee,
Mama. Ntar juga Rio insyaf kali, Ma. Jadi laki-laki sejati. Jadi
imam keluarga yang soleh. Sekarang kan masih muda, Ma.”
“Insyaf
itu nggak ada kata ntar-ntaran Rio. Nanti keburu semua terlambat. Insyaf kok
ntar-ntaran.” Nasihat Mama persis seperti kata-kata yang selalu Ify katakan
padanya.
“Si
Mama beneran pengen punya menantu kayak Ify nih. Kata-katanya aja sampai sama.”
Umpat Rio dalam hati.
Keluarga
Umari memang beruntung memiliki putri seperti Ify. Tak hanya alim dan taat
dalam agama tetapi juga pandai dalam akademis. Ify selalu menjadi juara umum di
sekolah. Ify juga ramah dan tidak sombong. Setiap hari Ify selalu di rumah,
menyibukkan diri membantu Tante Gina mengerjakan pekerjaan rumah karena
keluarga Umari tidak memiliki pembantu.
Meskipun
Rio selalu cengengesan nggak jelas saat Ify menasihatinya atau memarahinya,
namun sebenarnya dalam lubuk hatinya, Rio bahagia. Ia senang karena Ify begitu
peduli dengannya.
“Rio.. Rio..” panggil Mama
dari balik pintu kamar. “Loh kok kamu belum siap sih? Katanya mau ikut ziarah.”
tanya Mama ketika melihat Rio duduk di kasur menghadap ke jendela masih
mengenakan kausnya.
Rio tersadar. “Eh iya, Ma.
Sebentar, Rio tinggal ganti baju doang kok.” Jawabnya.
“Yaudah, cepat ya. Keburu hujan
datang lagi.” Mama lalu pergi.
Rio menatap langit yang kini
telah cerah. Ternyata hujan telah berhenti. Rio pun beranjak dari kasur dan
mengganti pakaiannya.
***
Tiga
tahun yang lalu, ketika Hari Lebaran tiba.
Rio
berhenti mengayuh sepedanya saat melihat Ify dan keluarganya membawa tas besar
ke dalam mobil. “Ify...” panggil Rio.
Ify
mendengar dan berlari ke arah Rio. “Mohon maaf lahir dan batin ya. Yo.”
“Aku
sudah memaafkan semua kesalahanmu.” Ucap Rio sok jadi ustad. “Aku juga ya.”
Tambahnya yang dibalas Ify “Iya, Yo.”
“Kamu
mau kemana, Fy?”
“Ke
rumah Tanteku yang di Surabaya.”
“Berapa
lama?”
“Sampai
liburan selesai.”
“Lama
amat.”
“Kenapa?
Takut kangen sama aku ya?” goda Ify.
“Bukan
sih, cuma takutnya nanti nggak ada lagi yang mau ngomelin aku.”
“Capek
ngomelin kamu terus. Masuk kuping kanan keluar kuping kiri.” Ify menjulurkan
lidahnya.
Rio
menyeringai.
Ify
naik ke dalam mobil. Sebelum mobil itu jalan, Rio berteriak. “Ify aku pasti
akan merindukanmu.” Ify hanya tersenyum mendengarnya.
Entah
kenapa kata-kata itu keluar begitu saja. Ketika mobil itu pergi dan menghilang
dari pandangannya, tiba-tiba saja perasaan aneh datang menyergapnya. Seakan
pertanda bahwa sesuatu akan terjadi pada Ify.
Dan
ternyata perasaan Rio benar. Mobil yang Ify kendarai bersama orang tuanya
mengalami kecelakaan. Begitu mendengar kabar mengaenai kecelakaan itu, Rio
bersama kedua orang tuanya segera pergi ke rumah sakit.
Rio
berdiri terpaku tanpa bersuara. Di matanya terdapat cairan bening yang perlahan
bergulir jatuh kepipinya. Aah, ternyata sang badboy sekolah yang terkenal
bandel itu pun bisa terlihat cengeng juga.
Rio
menatap nanar ke arah Ify yang terkapar lemah diatas ranjang rumah sakit . Luka
yang dialami Ify cukup parah. Pendarahan di pelipis dan hidungnya tak berhenti
juga. Selaput mata kanannya tesobek. Tulang kakinya patah. Rio terus menggenggam
tangan Ify sambil merapalkan doa agar Ify baik-baik saja.
Namun
Tuhan berkehendak lain. Tiba-tiba saja terdengar suara panjang yang memekikan
telinga dari alat pendeteksi jantung. Sejurus kemudian, seorang dokter ditemani
beberapa perawat masuk dan menyuruh Rio keluar.
Tak
berapa lama dokter itu keluar tanpa berkata apa-apa. Jerit tangis pun terdengar.
Ify pergi untuk selamanya. Sementara Rio hanya membisu dengan air mata.
“Aku
senang karena akhirnya aku bisa membujukmu terawih, walau hanya sekali.” Ucap
Ify bahagia, kala itu.
“Ramadhan
berikutnya kamu harus rajin terawih, Yo! Puasanya juga jangan bolong-bolong.”
Nasihat Ify yang terus terngiang di pikiran Rio.
“Aku
sudah memenuhi keinginanmu, Fy. Ramadhan kali ini aku selalu terawih. Puasaku
juga full. Sama seperti Ramadhan tahun lalu. Sayang, Ramadhan tahun ini dan
ramadhan tahun lalu kamu tidak ada disini.” Ucap Rio lirih.
“Aku
merindukanmu, Fy.” Rio tersenyum menatap makam yang berada dihadapannya. Makam
Alyssa Saufika Umari, sahabatnya.
“Terima
kasih, Yo. Aku juga sangat merindukanmu.” Jawab sebuah bayangan yang menatap
siluet Rio dari jauh dengan tersenyum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar