16 Juli 2012

Elegi dalam Ramadhan


Siang ini, terlihat awan berarak-arak dengan gumpalan kapas berwarna hitam pekat di langit. Tanda akan segera turun hujan. Hujan selalu mengingatkan Rio tentang kenangan itu. Kenangan dengan seorang gadis yang tinggal bersebelahan dengan rumahnya. Rio masih mengingat jelas hari itu, tiga tahun yang lalu, saat menjelang Ramadhan 1430 H.

Saat itu hari masih siang, ketika Ify datang  ke rumah Rio dengan membawa baki berisi hantaran makanan  ringan, padahal saat itu hujan sedang turun deras.
“Ini buatan Mama dan Ify, Tante. Cobain ya!” kata Ify pada Mama Rio.
“Sejak kapan kamu bisa masak, Fy? Bilang aja itu masakan Tante Gina.” Celetuk Rio sambil mengelap rambutnya yang basah dengan handuk.
“Rioooo!” Mama mendelik.
“Kalaupun benar itu masakan Ify, pasti nggak enak, Ma. Mending nggak usah dimakan deh.” Kata Rio sambil mengangkat sebelah alisnya.
“Rioooo!” Mama kembali mendelik.
Ify membelalak. “Yaudah kalo kamu nggak mau makan, buat Tante Manda aja.” Ify menjulurkan lidahnya kearah Rio.  
“Oiya Tante, maaf lahir dan batin ya. Salam dari Mama. Selamat manjalankan ibadah puasa.”
“Sama-sama, Ify. Tante dan keluarga juga minta maaf ya.”
“Kayak lebaran aja pake maaf-maafan.” Celetuk Rio lagi.
“Rio abis main hujan-hujanan lagi ya Tante?” Tanya Ify, mengabaikan celotehan Rio.
“Iya, anak itu sudah sebesar ini masih saja main hujan-hujan, seperti anak kecil saja.”
“Yee, Mama memangnya yang main hujan-hujanan itu cuma anak kecil aja? Ya nggak lah.”
Mama Rio berdecak sambil menggelengkan kepalanya. “Liat dong Ify, Ify  saja nggak pernah main hujan-hujanan.”
“Yah, Ify kan cemen, Ma. Masa takut sama air.”
“Yee, siapa yang takut air sih? Main hujan-hujanan itu kan bisa bikin sakit tau, Yo.” Kata Ify menjelaskan.
Rio hanya mengangguk-angguk sambil bergumam ‘oh’.
“Ini anak kalau dikasih tahu ngeyel banget. Nanti kalau kamu sakit, awas kamu ya, Mama nggak mau ngurusin kamu.”
“Yaudah, kalau Mama nggak mau urusin aku kan masih ada Ify.” Goda Rio sambil mengedipkan sebelah matanya.
Ify pamit. Diam-diam Rio memperhatikan Ify hingga Ify menghilang dibalik gerbang. Gadis berdagu tirus itu memiliki model rambut layer yang selalu ia gerai hingga melewati bahu. Namun sejak dua tahun yang lalu rambut itu telah ditutup dengan  jilbab yang membuatnya semakin cantik.
Sudah  sejak lama Ify dan Rio bertetanggaan. Mereka juga satu sekolah, hanya saja berbeda kelas. Ify amat pendiam, berbeda dengan Rio  yang jahil dan suka bikin onar. Hobi membolos, main PS, nongkrong dengan teman, itulah Rio.
Setiap Ramadhan, Rio selalu melihat Ify lewat depan rumahnya untuk pergi dan pulang terawih.
Pernah Ify menegur Rio saat melihat Rio asik main basket di teras rumah. “Yo, puasa nggak, terawih nggak.. gimana sih kamu.” Rio hanya cengengesan mendengarnya tanpa menghentikan permainan basketnya.
Walau berulangkali Ify menasihatinya tapi tetap saja Rio tak berubah.
“Rio, kita terawih bareng yuk.” Ucap Ify setiap kali ingin pergi terawih.
Ify juga pernah memergoki Rio makan bakso saat  teman-temannya yang lain justru sedang berusaha sekuat tenaga melawan godaan iman. “Marioo.. kok kamu nggak puasa sih? Inget loh, Yo, bayar puasanya itu repot.” Dan lagi-lagi Rio hanya cengengesan mendengarnya.
Mama Rio pernah berkata “Keluarga Umari itu beruntung sekali. Walau dikaruniai seorang anak, tapi baik.., cantik.., pinter juga alim. Nggak kayak keluarga kita.”
“Mama pengen ya punya menantu kayak dia?” tanya Rio jahil. “Tenang, Ma..”
“Ah... mana mau dia sama kamu. Begajulan, bandel... Bisanya cuma bikin orang tua stress aja.”
“Yee, Mama. Ntar  juga Rio insyaf  kali, Ma. Jadi laki-laki sejati. Jadi imam keluarga yang soleh. Sekarang kan masih muda, Ma.”
“Insyaf itu nggak ada kata ntar-ntaran Rio. Nanti keburu semua terlambat. Insyaf kok ntar-ntaran.” Nasihat Mama persis seperti kata-kata yang selalu Ify katakan padanya.
“Si Mama beneran pengen punya menantu kayak Ify nih. Kata-katanya aja sampai sama.” Umpat Rio dalam hati.
Keluarga Umari memang beruntung memiliki putri seperti Ify. Tak hanya alim dan taat dalam agama tetapi juga pandai dalam akademis. Ify selalu menjadi juara umum di sekolah. Ify juga ramah dan tidak sombong. Setiap hari Ify selalu di rumah, menyibukkan diri membantu Tante Gina mengerjakan pekerjaan rumah karena keluarga Umari tidak memiliki pembantu.
Meskipun Rio selalu cengengesan nggak jelas saat Ify menasihatinya atau memarahinya, namun sebenarnya dalam lubuk hatinya, Rio bahagia. Ia senang karena Ify begitu peduli dengannya.

“Rio.. Rio..”  panggil Mama dari balik pintu kamar. “Loh kok kamu belum siap sih? Katanya mau ikut ziarah.” tanya Mama ketika melihat Rio duduk di kasur menghadap ke jendela masih mengenakan kausnya.
Rio tersadar. “Eh iya, Ma. Sebentar, Rio tinggal ganti baju doang kok.” Jawabnya.
“Yaudah, cepat ya. Keburu hujan datang lagi.” Mama lalu pergi.
Rio menatap langit yang kini telah cerah. Ternyata hujan telah berhenti. Rio pun beranjak dari kasur dan mengganti pakaiannya.

***

Tiga tahun yang lalu, ketika Hari Lebaran tiba.
Rio berhenti mengayuh sepedanya saat melihat Ify dan keluarganya membawa tas besar ke dalam mobil. “Ify...” panggil Rio. 
Ify mendengar dan berlari ke arah Rio. “Mohon maaf lahir dan batin ya. Yo.”
“Aku sudah memaafkan semua kesalahanmu.” Ucap Rio sok jadi ustad. “Aku juga ya.” Tambahnya yang dibalas Ify “Iya, Yo.”
“Kamu mau kemana, Fy?”
“Ke rumah Tanteku yang di Surabaya.”
“Berapa lama?”
“Sampai liburan selesai.”
“Lama amat.”
“Kenapa? Takut kangen sama aku ya?” goda Ify.
“Bukan sih, cuma takutnya nanti nggak ada lagi yang mau ngomelin aku.”
“Capek ngomelin kamu terus. Masuk kuping kanan keluar kuping kiri.” Ify menjulurkan lidahnya. 
Rio menyeringai.
Ify naik ke dalam mobil. Sebelum mobil itu jalan, Rio berteriak. “Ify aku pasti akan merindukanmu.” Ify hanya tersenyum mendengarnya.
Entah kenapa kata-kata itu keluar begitu saja. Ketika mobil itu pergi dan menghilang dari pandangannya, tiba-tiba saja perasaan aneh datang menyergapnya. Seakan pertanda bahwa sesuatu akan terjadi pada Ify.
Dan ternyata perasaan Rio benar. Mobil yang Ify  kendarai bersama orang tuanya mengalami kecelakaan. Begitu mendengar kabar mengaenai kecelakaan itu, Rio bersama kedua orang tuanya  segera pergi ke rumah sakit.

Rio berdiri terpaku tanpa bersuara. Di matanya terdapat cairan bening yang perlahan bergulir jatuh kepipinya. Aah, ternyata sang badboy sekolah yang terkenal bandel itu pun bisa terlihat cengeng juga.
Rio menatap nanar ke arah Ify yang terkapar lemah diatas ranjang rumah sakit . Luka yang dialami Ify cukup parah. Pendarahan di pelipis dan hidungnya tak berhenti juga. Selaput mata kanannya tesobek. Tulang kakinya patah. Rio terus menggenggam tangan Ify sambil merapalkan doa agar Ify baik-baik saja.
Namun Tuhan berkehendak lain. Tiba-tiba saja terdengar suara panjang yang memekikan telinga dari alat pendeteksi jantung. Sejurus kemudian, seorang dokter ditemani beberapa perawat masuk dan menyuruh Rio keluar.
Tak berapa lama dokter itu keluar tanpa berkata apa-apa. Jerit tangis pun terdengar. Ify pergi untuk selamanya. Sementara Rio hanya membisu dengan air mata.

“Aku senang karena akhirnya aku bisa membujukmu terawih, walau hanya sekali.” Ucap Ify bahagia, kala itu.
“Ramadhan berikutnya kamu harus rajin terawih, Yo! Puasanya juga jangan bolong-bolong.” Nasihat Ify yang terus terngiang di pikiran Rio.

“Aku sudah memenuhi keinginanmu, Fy. Ramadhan kali ini aku selalu terawih. Puasaku juga full. Sama seperti Ramadhan tahun lalu. Sayang, Ramadhan tahun ini dan ramadhan tahun lalu kamu tidak ada disini.” Ucap Rio lirih.
“Aku merindukanmu, Fy.” Rio tersenyum menatap makam yang berada dihadapannya. Makam Alyssa Saufika Umari, sahabatnya.
“Terima kasih, Yo. Aku juga sangat merindukanmu.” Jawab sebuah bayangan yang menatap siluet Rio dari jauh dengan tersenyum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar