07 Juni 2013

So Precious


" Oleh karena engkau berharga di mata-Ku dan mulia, dan Aku ini mengasihi engkau... "
~ Yesaya 43:4 ~

Aku tak pernah  tahu siapa diriku. Dari mana asalku. Dan untuk apa aku terlahir di dunia ni.
Tempat tinggal yang ku miliki bukanlah rumah mewah, namun hanya sebuah bangunan sempit yang lebih cocok dsebut gubuk. Aku tak punya sahabat untuk ku ajak bercerta. Aku hanya aku, sendiri, dengan seribu pertanyaan. Siapakah aku?
“Angel”
Tiba-tiba saja aku mendengar seseorang memanggilku. Aaah, aku sendiri tak yakin kalau itu memang namaku. Yang ku tahu itu adalah nama yang diberikan Ibu Kepala Panti kepadaku sejak ia menemukanku di emperan jalan enam belas tahun yang lalu. Aku menoleh ke asal suara itu dan mendapati seorang pemuda tengah berlari ke arahku.
Gabriel.
“Hei..” Sapanya ramah.
Aku kembali melangkahkan kakiku. Mengabaikannya.
“Lo udah punya teman kelompok buat tugas ilmiah belum?” Gabriel berusaha mensejajarkan langkah kakiku.
Aku melirik ke arahnya. Untuk apa ia bertanya seperti itu. Ingn menghinaku kah?
“Maksud gue, gue mau ngajak lo gabung sama kelompok gue. Gimana mau nggak?” lanjutannya lagi.
“Nggak perlu. Terima kasih.” Tolakku.
“Kenapa mesti lo tolak sih? Gue tau kok kalo lo sebenarnya belum punya teman kelompok.”
Aku menatapnya tajam.
“Kenapa? Apa karena lo takut anak-anak yang lainnya membahas asal usul lo yang nggak jelas itu?”
“Bukan urusan lo!” Kataku kesal. Lalu, pergi meninggalkannya.
Aku mempercepat langkahku. Sengaja ku ggit  bibir bawahku yang bergetar agar tangisku tak pecah. Tapi sepertinya usahaku sia-sia, karena tanpa bisa ku cegah air mataku jatuh selaras dengan suara tangisku yang tak dapat terbendung lagi.
Sederet pertanyaan itu kembali hadir. Siapa aku? Dimana orang tuaku? Mengapa mereka membiarkan aku sendiri? Apakah mereka membenciku?
Lalu, tanpa bisa ku cegah kenangan itu pun datang. Mengusikku dan menamparku dengan memori yang kelam. Saat itu aku berusia lima tahun. Masih polos dan belum mengerti apapun tentang kepahitan hidup.
Pernah suatu kali aku pergi berjalan-jalan sendirian. Ku lihat ada segerombolan anak dengan ceria bermain di taman. Ingin sekali aku bergabung dengan mereka. Tertawa bersama, bermain bersama. Namun mereka menolak dan mengusirku begitu saja. Bahkan mereka mencaciku seakan aku manusia paling terkutuk di dunia ini.
“Anak haram!” Satu kata yang terus terngiang-ngiang di kepalaku. Yang slalu membuat hatiku sakit hingga saat ini.
Begitu menjijikannyakah aku hingga mereka menyebut aku seperti itu? Memangnya aku ingin terlahir seperti ini? Tidak tahu identitasku yang sebenarnya. Aku juga ingin seperti anak-anak kecil itu. Tertawa bahagia, bermain bersama, merasakan hangatnya dekapan orang tua.
Dunia memang kejam. Segala sesuatunya hanya dianggap berharga dengan ukuran yang mereka ciptakan sendiri. Aaah, lebih kejam mana dengan Dia Sang Penguasa? Bukankah rancangan-Nya yang membuat hidupku menderita seperti ini?
“Udah puas nangisnya?” Sebuah suara membuatku tersentak. Buru-buru ku hapus air mataku. Aku mendongkak. Ternyata orang yang berbicara itu adalah Gabriel.
“Ngapain sih elo kesini? Lo pasti menguntit gue, iya kan?” Ucapku ketus.
“Gue punya  feeling kalo lo bakal nangis setelah apa yang tadi gue katakan ke elo. Jadi, ya, gue mengikuti lo. Dan ternyata benarkan dugaan gue.” Gabriel lalu duduk disampingku.
“Sampai kapan lo mau begini terus? Mengasihani hidup lo sendiri dan terus mengutuk takdir yang Tuhan berikan kepada lo.” Katanya dengan nada yang menurutku sangat menyebalkan.
“Lo nggak tau apa-apa.” Kataku kesal.
Sejurus kemudian, Gabriel telah meraih tanganku, menarikku ikut bersamanya.
“Mau ngapain narik-narik gue?”
Aku berusaha menahan langkah kaki Gabriel.
“Gue mau bawa lo ke suatu tempat.”
Dan disinilah aku. Di sebuah tempat yang disebut orang kandang sapi. Untuk apasih Gabriel membawaku kesini? Bau menyengat yang menggelitiki indra penciumanku membuat aku mual dan ingin muntah. Tapi sepertinya Gabriel bisa mengatasi aroma tak sedap ini dengan baik.
“Sikap lo saat ini sama seperti sikap kebanyakan orang. Wajar sih elo ngerasa jiik, secara gitu baunya nyengat banget. Tapi, tau nggak, sebenarnya kotoran-kotoran ini memliki nilai yang sangat berharga.”
Gabriel menatapku. Dan aku hanya terdiam. Sebenarnya maksud Gabriel itu apaan sih?
“Lo nggak tau kan, sebelum menjadi seonggok kotoran mereka terlebih dahulu mengalami perjalanan hidup yang menyakitkan. Menurut lo, apa mungkin sapi-sapi ini makan rumput-rumputan yang berkelas tinggi? Nggak. Para penggembala sapi ini hanya rakyat miskin yang sanggup memberi makan sapi-sapinya dengan rumput-rumput liar. Rumput liar yang sering kali dianggap remeh banyak orang.”
“Apa yang lo rasakan saat ini mungkin nggak jauh beda dengan apa yang mereka rasakan.” Gabriel tersenyum pahit padaku.
“Banyak orang yang mengira ini adalah akhir dari kisah mereka. Tapi sebenarnya nggak. Tuhan punya rencana indah buat mereka. Mereka dijadikan pupuk dan menjadi dewa penolong bagi tanaman-tanaman yang kekurangan sumber makanan. Mereka juga digunakan sebagai bahan percobaan oleh banyak peneliti. Awalnya mereka nggak yakin kalo percobaan atas mereka akan berhasil, tapi Tuhan berkata lain. Ternyata mereka mampu. Dan muncullah Biogas. Bukan cuma itu, mereka juga berenkarnasi menjadi bioelektrik, sumber PLTU, bahan baku gerobak, batu bata, dan masih banyak lagi.”
See! Seonggok kotoran hewan yang selama ini kita anggap rendah justru memiliki peran yang sangat penting untuk kelangsungan hidup manusia.”
Dan kata-kata Gabriel seakan menamparku dengan telak. Tuhan, maafkan aku karena telah menyalahkan-Mu selama ini.

Bagi Tuhan, satu orang begitu berharga. Jika Dia saja menganggap kita berharga, mengapa kita menganggap diri kita sendiri biasa-biasa saja?

Terinspirasi dari Hikayat Kotoran Sapi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar