" Oleh karena engkau berharga di mata-Ku dan
mulia, dan Aku ini mengasihi engkau... "
~ Yesaya 43:4 ~
Aku
tak pernah tahu siapa diriku. Dari mana
asalku. Dan untuk apa aku terlahir di dunia ni.
Tempat
tinggal yang ku miliki bukanlah rumah mewah, namun hanya sebuah bangunan sempit
yang lebih cocok dsebut gubuk. Aku tak punya sahabat untuk ku ajak bercerta. Aku
hanya aku, sendiri, dengan seribu pertanyaan. Siapakah aku?
“Angel”
Tiba-tiba
saja aku mendengar seseorang memanggilku. Aaah, aku sendiri tak yakin kalau itu
memang namaku. Yang ku tahu itu adalah nama yang diberikan Ibu Kepala Panti
kepadaku sejak ia menemukanku di emperan jalan enam belas tahun yang lalu. Aku
menoleh ke asal suara itu dan mendapati seorang pemuda tengah berlari ke arahku.
Gabriel.
Gabriel.
“Hei..”
Sapanya ramah.
Aku
kembali melangkahkan kakiku. Mengabaikannya.
“Lo
udah punya teman kelompok buat tugas ilmiah belum?” Gabriel berusaha
mensejajarkan langkah kakiku.
Aku
melirik ke arahnya. Untuk apa ia bertanya seperti itu. Ingn menghinaku kah?
“Maksud
gue, gue mau ngajak lo gabung sama kelompok gue. Gimana mau nggak?” lanjutannya
lagi.
“Nggak
perlu. Terima kasih.” Tolakku.
“Kenapa
mesti lo tolak sih? Gue tau kok kalo lo sebenarnya belum punya teman kelompok.”
Aku
menatapnya tajam.
“Kenapa?
Apa karena lo takut anak-anak yang lainnya membahas asal usul lo yang nggak
jelas itu?”
“Bukan
urusan lo!” Kataku kesal. Lalu, pergi meninggalkannya.
Aku
mempercepat langkahku. Sengaja ku ggit
bibir bawahku yang bergetar agar tangisku tak pecah. Tapi sepertinya
usahaku sia-sia, karena tanpa bisa ku cegah air mataku jatuh selaras dengan
suara tangisku yang tak dapat terbendung lagi.
Sederet
pertanyaan itu kembali hadir. Siapa aku? Dimana orang tuaku? Mengapa mereka
membiarkan aku sendiri? Apakah mereka membenciku?
Lalu,
tanpa bisa ku cegah kenangan itu pun datang. Mengusikku dan menamparku dengan
memori yang kelam. Saat itu aku berusia lima tahun. Masih polos dan belum
mengerti apapun tentang kepahitan hidup.
Pernah
suatu kali aku pergi berjalan-jalan sendirian. Ku lihat ada segerombolan anak
dengan ceria bermain di taman. Ingin sekali aku bergabung dengan mereka.
Tertawa bersama, bermain bersama. Namun mereka menolak dan mengusirku begitu
saja. Bahkan mereka mencaciku seakan aku manusia paling terkutuk di dunia ini.
“Anak
haram!” Satu kata yang terus terngiang-ngiang di kepalaku. Yang slalu membuat
hatiku sakit hingga saat ini.
Begitu
menjijikannyakah aku hingga mereka menyebut aku seperti itu? Memangnya aku ingin
terlahir seperti ini? Tidak tahu identitasku yang sebenarnya. Aku juga ingin
seperti anak-anak kecil itu. Tertawa bahagia, bermain bersama, merasakan
hangatnya dekapan orang tua.
Dunia
memang kejam. Segala sesuatunya hanya dianggap berharga dengan ukuran yang
mereka ciptakan sendiri. Aaah, lebih kejam mana dengan Dia Sang Penguasa? Bukankah
rancangan-Nya yang membuat hidupku menderita seperti ini?
“Udah
puas nangisnya?” Sebuah suara membuatku tersentak. Buru-buru ku hapus air
mataku. Aku mendongkak. Ternyata orang yang berbicara itu adalah Gabriel.
“Ngapain
sih elo kesini? Lo pasti menguntit gue, iya kan?” Ucapku ketus.
“Gue
punya feeling kalo lo bakal nangis setelah apa yang tadi gue katakan ke
elo. Jadi, ya, gue mengikuti lo. Dan ternyata benarkan dugaan gue.” Gabriel
lalu duduk disampingku.
“Sampai
kapan lo mau begini terus? Mengasihani hidup lo sendiri dan terus mengutuk
takdir yang Tuhan berikan kepada lo.” Katanya dengan nada yang menurutku sangat
menyebalkan.
“Lo
nggak tau apa-apa.” Kataku kesal.
Sejurus
kemudian, Gabriel telah meraih tanganku, menarikku ikut bersamanya.
“Mau
ngapain narik-narik gue?”
Aku
berusaha menahan langkah kaki Gabriel.
“Gue
mau bawa lo ke suatu tempat.”
Dan
disinilah aku. Di sebuah tempat yang disebut orang kandang sapi. Untuk
apasih Gabriel membawaku kesini? Bau menyengat yang menggelitiki indra penciumanku
membuat aku mual dan ingin muntah. Tapi sepertinya Gabriel bisa mengatasi aroma
tak sedap ini dengan baik.
“Sikap
lo saat ini sama seperti sikap kebanyakan orang. Wajar sih elo ngerasa jiik,
secara gitu baunya nyengat banget. Tapi, tau nggak, sebenarnya kotoran-kotoran
ini memliki nilai yang sangat berharga.”
Gabriel
menatapku. Dan aku hanya terdiam. Sebenarnya maksud Gabriel itu apaan sih?
“Lo
nggak tau kan, sebelum menjadi seonggok kotoran mereka terlebih dahulu
mengalami perjalanan hidup yang menyakitkan. Menurut lo, apa mungkin sapi-sapi
ini makan rumput-rumputan yang berkelas tinggi? Nggak. Para penggembala sapi
ini hanya rakyat miskin yang sanggup memberi makan sapi-sapinya dengan
rumput-rumput liar. Rumput liar yang sering kali dianggap remeh banyak orang.”
“Apa
yang lo rasakan saat ini mungkin nggak jauh beda dengan apa yang mereka
rasakan.” Gabriel tersenyum pahit padaku.
“Banyak
orang yang mengira ini adalah akhir dari kisah mereka. Tapi sebenarnya nggak.
Tuhan punya rencana indah buat mereka. Mereka dijadikan pupuk dan menjadi dewa
penolong bagi tanaman-tanaman yang kekurangan sumber makanan. Mereka juga
digunakan sebagai bahan percobaan oleh banyak peneliti. Awalnya mereka nggak
yakin kalo percobaan atas mereka akan berhasil, tapi Tuhan berkata lain.
Ternyata mereka mampu. Dan muncullah Biogas. Bukan cuma itu, mereka juga
berenkarnasi menjadi bioelektrik, sumber PLTU, bahan baku gerobak, batu
bata, dan masih banyak lagi.”
“See! Seonggok kotoran hewan yang selama
ini kita anggap rendah justru memiliki peran yang sangat penting untuk
kelangsungan hidup manusia.”
Dan
kata-kata Gabriel seakan menamparku dengan telak. Tuhan, maafkan aku karena
telah menyalahkan-Mu selama ini.
Bagi Tuhan, satu orang begitu berharga. Jika Dia saja menganggap
kita berharga, mengapa kita menganggap diri kita sendiri biasa-biasa saja?
Terinspirasi
dari Hikayat Kotoran Sapi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar